JAKARTA – Ahli Sosiologi dan Mantan Rektor Universitas Ibnu Chaldun Musni Umar menegaskan perlunya Ahmadiyah melepaskan diri dari faktor eksklusivisme komunitas.
Umar menilai ekslusivisme tersebut menjadi salah satu dari lima faktor yang membuat permasalahan Ahmadiyah tidak kunjung menemukan titik terang penyelesaian. Mantan Rektor Universitas Ibnu Chaldun tersebut menjelaskan bahwa sifat eksklusif ini dinilainya karena komunitas Ahmadiyah hidup hanya dengan komunitasnya dan tidak dengan seluruh masyarakat sehingga hal ini dalam hubungan sosial masyarakat sangat mudah menimbulkan kecurigaan.
Umar menyebutkan beberapa faktor memengaruhi ketiadaan penyelesaian masalah Ahmadiyah. Ia menyebut faktor teologis, kitab suci, masjid komunitas, dan tidak adanya penyelesaian masalah secara komprehensif menjadi hal yang membuat perbedaan antara Ahmadiyah serta masyarakat Indonesia yang didominasi Islam tak kunjung terurai.
Berhubungan dengan tidak adanya penyelesaian masalah perbedaan Ahmadiyah secara komprehensif, Umar menjabarkan bahwa sejak 2009 hingga 2024 berbagai kalangan telah mengajukan permasalahan yang dihadapi Ahmadiyah.
“Akar masalah ini adalah adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) yang lahir pada masa Demokrasi Terpimpin, tetapi UU ini masih sangat diperlukan keberadaannya untuk mencegah penodaan agama sebelum lahirnya UU yang baru,” tegas Umar.
Terkait faktor teologis, lanjut Umar, menyebutkan bahwa dalam kehidupan sosial, masyarakat menganggap Ahmadiyah sudah sesat sehingga mengharapkan pengikut Ahmadiyah kembali pada ajaran Islam atau masuk pada bagian bukan Islam atau meminta pemerintah membubarkan komunitas tersebut. Adapun terkait kitab suci, Umar menyebutkan dalam komunitas Ahmadiyah terdapat Kitab Tadzirah, sedangkan Islam memiliki Al Qur’an. Maka, menurut Umar, hal ini merupakan masalah yang mendorong terjadinya pertentangan.
“Adanya putusan dari Liga Islam Dunia dan Fatwa MUI yang menyatakan Ahmadiyah adalah sesat adalah bukan penyebab umat Islam melakukan kekerasan pada Ahmadiyah, tetapi lebih pada ghirah dari umat Islam yang bangkit karena keyakinan agama Islam yang diobok-obok,” jelas Umar.
Berikutnya, faktor adanya masjid komunitas yang dibangun hanya untuk komunitas Ahmadiyah, sejatinya diakui Umar bahwa masjid merupakan tempat ibadah bagi siapa saja dan tempat untuk melakukan aktivitas sosial. Namun, tidak demikian halnya dengan yang terjadi di lapangan atas aktivitas keagamaan tersebut.
Tinggalkan Balasan